// Tentang Jiwa yang Mati Rasa Akan Luka //
Ini, kisah ku. Mungkin juga kisahmu,
dan kita semua. Kisah metamorfosis dari kecil hingga mendewasa. Perubahan signifikan yang kadang
kita sendiri tak rasa. Jari-jari tangan penuh cinta turut berperan seiring
tumbuhnya diriku, kamu, dan kita semua. Diikuti senyum tipis. Ibu. Ibu.
Ibu. Perwakilan dari banyaknya sebutan anggun. Iya. Ibu namanya. Gelar
tertinggi yang kelak diemban oleh seluruh kaum hawa di dunia. Bersyukurlah.
Jadi ibu tidak mudah. Susah, lelah, sampai pasrah.
Kita semua tahu, bahwa tak ada satu
pun manusia yang lahir tanpa kerja keras seorang ibu. Wanita tertangguh
sejagaaatt rayaaa. Hehe. Yang setiap harinya namaku, namamu, nama kita semua, tak
pernah absen dari runtutan doanya. Berharap kelak nanti aku, kamu, dan kita
semua jadi manusia berhati, berjiwa, berperasaan. Tak apa bila kelak tak
mengusung gelar, yang ibu harapkan agar jadi manusia berguna. Memiliki kasih
dan sayang yang utuh jadi satu. Tidak hanya setengah-setengah. Hanya kasih,
ataupun hanya sayang.
'menghela
napas sebentar'
Aku lelah bila bicara soal ibu. Tak
akan cukup waktuku. Andai kata aku pun sanggup untuk mengungkap, kalimatnya tak
akan sempurna. Didesak oleh air mata yang memaksa luruh. Bersamaan dengan rasa
kesal penuh. Kesal, mengapa masih membangkang? Aku, kami, dan kita semua, tanpa
sengaja pasti pernah, mengukir luka di hati tulusnya. Berusaha menghapus, namun
tak sampai bersih. Bagaimanapun juga kaca yang pecah bila dirangkai kembali,
wujudnya tak lagi sama sempurna. Namun, kata maaf diam-diam selalu menyelinap.
Terlihat dari sorot matanya yang teduh menatap anak-anaknya.
Untuk
: Istri Ayahku
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ibu.
Aku ingat. Ketika mataku untuk pertama kalinya menatap sejuk senyummu yang
dibasahi air mata haru-mu. Selembut itukah, Bu? Bahkan saat-saat menahan lara
pun, engkau mampu tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan.
Kemudian
menginjak usia balita, engkau mengajariku berbicara, berbahasa dengan baik,
berjalan, mengenal sekitar. Lalu di usia awal sekolah, bapak ibu guru sering
mengingatkan aku dan teman-teman ku untuk belajar mengeja namamu. I-b-u.
Hingga
sekarang aku mendewasa, aku menganalisa makna kata yang kerap aku dan mereka
semua ucapkan. I-b-u. Cukup singkat. Hanya tiga huruf. Tiga huruf yang ketika
berbicara mampu menggetarkan dada dan ketika menangis meresahkan segenap diri.
Maaf
hingga detik ini aku belum sempat mengangkat namamu dengan berbagai aksi
kerenku. Anakmu kini hanya bisa mengingat dirimu, jasamu, berharap agar setiap
langkah, ridho-mu tak pernah terlewat.
Kasih,
sayang, dan cintamu semoga menurun kepada orang-orang yang terlahir dari perut
kuat mu. Yang senantiasa memanusiakan manusia. Tak banyak yang bisa ku beri,
Bu.
Ini
sebait terakhirku. Selembar sajak ini berlaku untuk hidup dan matiku, Bu. Bukan
ketika tanggal dua puluh dua desember saja. Hari ibu untukmu adalah sepanjang hari. Tidak
hanya hari ini saja. Cintaku buatmu sepanjang masa usia orang terdahulu, bukan
sebatas usia senja. Karena buatmu, tak akan ada habisnya.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
manusia
yang semoga saja tahu diri
Anakmu
+ komentar + 2 komentar
Keren min😭😭
Mantap min
Post a Comment