Malam Lebaran
Oleh : Milati Azka Safitri (XI A 7)
Sudah dua tahun lamanya aku tidak bertemu dengan bapak. Selama itu pula kami lost kontak. Sesungguhnya aku sangat merindukan bapak. Sangat membutuhkan bapak. Sejak bapak memutuskan untuk pergi ke Tanah Toraja untuk merantau, hatiku sangat hancur.
Astaghfirullahaladzim, tak terasa air mata ini mengalir tatkala teringat bapak yang berada di jauh sana. Sejak bapak meninggalkan aku sendiri, hatiku menjadi kosong. Mengingat ibu yang sudah berada di alam yang berbeda. Aku harus hidup bersama orang tua angkatku. Perlakuan buruk sering ibu lakukan padaku. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi catatan takdirku.
Sesungguhnya aku tak tahu mengapa bapak tega menyerahkan aku pada keluarga ini. Jelas – jelas aku sangat menyayangi bapak dan patuh atas semua perintahnya. Terkadang aku berfikir, mengapa bapak menitipkanku pada mereka, alasannya adalah karena kami sangat miskin. Mungkin dengan ini aku akan bisa menjadi bahagia. Tapi apa artinya hidup tanpa orang tua?
Sore itu aku ke makam ibu yang berada tidak jauh dari rumah orang tua angkatku. Aku menangis didepan gundukan tanah itu. Dua tahun lamanya aku kehilangan orang tuaku. Mengapa takdir membawaku pada situasi seperti ini, aku tak tahu. Kini aku hanya bisa mengenang kejadian dua tahun yang lalu ketika ibuku masih hidup dan bapak masih berada disini untuk kami berdua.
Adzan maghrib telah berkumandang, waktunya buka puasa. Ketika itu juga nafsu makanku menjadi hilang. Aku tak berdaya membendung air mata. Hidup dalam kesendirian tanpa ada orang yang benar – benar mengasihi kita rasanya seperti jasad yang berjalan saja.
Kata orang – orang aku adalah gadis yang tegar, tapi pada akhirnya air mata ini menetes juga. Hatiku luluh lantak jika teringat orang tuaku. Mungkin semua masalah bisa kutepis dengan mencari celah yang lain. Namun kehilangan orang tua adalah hal paling mengerikan di dunia. Ya meski aku tahu, semua milik Allah dan pasti akan kembali pada-Nya. Terkadang rasa kangen itu ada. Dan saat itu aku sangat merindukan orang tuaku.
Aku meninggalkan rumah orang tua angkatku tanpa pamit. Tak peduli mereka akan mencariku atau tidak. Saat itu mereka tengah sibuk mempersiapkan lebaran esok. Kecuali aku, jika kupandang foto aku, bapak dan ibu, apapun bisa tersingkirkan dari benakku.
Malam ini aku ingin sendiri. Merenungkan prasangka – prasangka buruk yang ada pada pikiranku. Berharap semoga pikiran buruk akan segera bersih karena esok hari sudah lebaran. Ingin menyucikan diri dengan meminta maaf kepada sesama. Tapi aku tak yakin melakukannya jika bersama – sama orang tua angkatku.
Tentu saja besok mereka akan membawaku ke rumah orang tua mereka di Madura. Makanya sebelum semua terjadi aku memilih untuk melarikan diri ke stasiun. Aku ingin pergi mencari kehidupan yang lebih damai. Tinggal bersama orang tua angkatku hanya membuat aku pusing dan pusing.
***
Duduk dibangku paling ujung , serasa menunggu sesuatu yang tidak mungkin datang. Ya, sebenarnya aku sedang menunggu bapak. Barangkali bapak datang untuk menemuiku dan membawaku pergi.
Hatiku semakin mantap bahwa malam ini keajaiban akan datang padaku. Aku yakin bapak akan pulang ke Semarang. Kusandarkan kepalaku, mataku menatap jauh ke langit, membayangkan wajah bapak semakin tua dengan guratan di dahinya, kulitnya semakin hitam dan badannya agak bungkuk karena terlalu banyak bekerja. Air mata ini menetes perlahan. “Bapak, aku mohon datanglah! Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Apakah bapak juga merindukanku? Apakah bapak disana baik – baik saja? Apa bapak bisa tidur dengan nyenyak? Makan dengan enak, idup dengan layak?” pertanyaan itu meluncur begitu saja bagai berondongan peluru di medan perang, menyerbu tanpa ampun. Begitu banyak pertanyaan tentang bapak terkonsep di kepalaku, namun pertanyaan itu tak pernah terlontarkan, apalagi terjawab. Aku sungguh tersiksa dengan keadaan ini.
Gema suara takbir menggema hingga ke relung hati. Aku bergetar, “Ya Allah, izinkanlah aku bertemu lagi dengan bapakku. Aku sangat merindukannya. Kumohon berikanlah keajaiban padaku malam ini. Pertemukanlah aku dengannya.” Bisikku dalam hati. Air mataku terus mengalir tak mau berhenti. Semua ketegaran yang kutunjukkan pada orang – orang selama ini, sama sekali menghilang. Malam ini, aku hanya tampak sebagai seorang gadis lemah yang cengeng.
Dari ujung sini kuamati semua orang tampak begitu gembira, anak – anak bermain kembang api. Sepertinya hanya diriku yang tampak begitu menyedihkan di malam hari kemenangan ini. Kutundukan kepalaku karena sedih memikirkan nasibku yang menyedihkan ini. Seorang anak perempuan menghampiriku, memberikan sebuah kembang api padaku dan mengajakku bermain. Aku menolak, tapi ia dengan wajah polosnya yang manis menarik tanganku memaksaku untuk bermain kembang api bersamanya. Well, akirnya aku menemaninya bermain kembang api. Saat itu aku merasa agak gembira, sepertinya kesedihanku sedikit berkurang. “Namaku Sella, kakak kenapa sedih sendirian disini?” tanyanya.
“Oh, hai, Sella! Namaku Zahra. Kamu juga kenapa main sendirian disini, padahal kan banyak anak – anak, kenapa tidak main sama mereka aja?” aku balik bertanya.
“Siapa bilang aku sendirian? Aku datang sama bapak kok. Bapak lagi beli kembang api disana.” Jawabnya.
“Oh ya? Pasti menyenangkan ya, bisa main bareng bapak. Sayang, bapakku tidak bisa bermain denganku malam ini,” Kataku. Jujur, anak itu semakin mengingatkanku pada sosok bapak. Kalau sedang tidak sibuk, ia juga sering mengajakku bermain. Aku jadi ingin menangis lagi. Tapi aku berusaha menahannya didepan anak ini.
“Nah, itu bapak datang. Ayo, kak! Aku kenalkan kakak sama bapak, nanti kita main sama – sama, ya!” anak itu sangat bersemangat, kelihatannya dia begitu bahagia, persis seperti masa kecilku dulu saat bermain dengan bapak, aku juga pernah merasakan kebahagiaan seperti itu, dan sekarang aku sangat merindukan masa iti.
Anak itu menghampiri bapaknya dengan riang, sambil menunjuk – nunjuk ke arahku, sepertinya dia sedang membicarakanku didepan bapaknya. Tak lama kemudian mereka menghampiriku. Semakin dekat, hatiku berdebar begitu kencang. Perasaan apa ini? Wajah lelaki itu sangat tidak asing bagiku, yah, kuamati sekali lagi. Ya Allah, tidak salah lagi, dia adalah bapak.
“Apa kabar, putriku? Mengapa kamu sendirian disini?” sapanya.
“Astaghfirullahaladzim bapak! Alhamdulillah....”
Tak disangka air mata ini terjun tanpa komando. Mengalir dan terus mengalir. Ya, tentu saja aku menangis bahagia karena do’aku langsung dikabulkan oleh Allah. Aku sangat tidak menyangka, apa yang aku angan – angankan terwujud sangat cepat.
Dan gadis kecil itu, dia adalah korban gempa. Orang tuanya meninggal. Bapak yang iba, akhirnya mengasuh dia.
Malam lebaran distasiun Poncol. Malam yang tidak pernah terlupakan dalam hidupku. Akhirnya aku bisa bertemu dengan bapak kembali. Dalam kondisi apapun, aku tetap menyayangi bapak.
Post a Comment