Perkenalkan, namaku Ai’Nur Kamila.
Kebanyakan orang sih memanggilku dengan sebutan Ai’. Pakai tanda petik satu
diatasnya. Pengucapannya sama dengan ketika melafalkan huruf ‘ain dalam huruf
hijaiyah. Bisa dibilang aku adalah seorang introvert yang
ingin taubat. Hehe. Memaksakan diri untuk tidak memikirkan segala sesuatunya
berdasarkan, ‘menurutku…’
Sebenarnya introvert ini
bukan bagian dari penyakit menular, atau bahkan gangguan kejiwaan yang
terlanjur kalut dipemikiran mereka-mereka yang sering menjadikan kata introvert sebagai
bahan ‘guyonan’.
Bahkan bisa dibilang aku cukup tersiksa dalam jeratan sifat yang satu ini, akan
tetapi juga cukup sulit menyesuaikan lingkungan dan keluar dari zona ini. Nah, yap! ini merupakan singkat kisahku
ketika aku menarik diriku untuk keluar dari
"z o n a a m a n."
...
Saat itu langkahku
terburu-terburu, tepat satu menit setelah bel istirahat berbunyi. Kupercepat
terus langkah kakiku, dengan membawa perasaan tak sabar untuk tiba di taman
belakang sekolah yang sepi nan menenteramkan itu. Di waktu yang bersamaan,
petaka datang. Seorang gadis tinggi semampai tak sengaja menghantamkan tubuhnya
hingga mengenai bahuku.
“Aduh!!”
“Astaghfirullahalazim!
Ah, maaf ya, aku nggak sengaja tadi. Kamu baik-baik aja,kan?”
Tak ada jawaban apapun dari bibirku.
Melainkan hanya ada pandangan kosong menatap wajah berseri nan teduh dari sosok
itu.
“Heii!
Kamu nggak apa-apa?” dia menegurku lagi.
“Ooh,
maaf-maaf. A..aku nggak apa-apa kok.” Jawabku sedikit gugup.
Kemudian tanpa berpikir panjang, aku bergegas
pergi tanpa permisi. Mempercepat langkah sambil mendekap buku dan penaku yang
beberapa kali hampir lolos dari genggamanku.
Ku
duduki kursi panjang yang hampir rapuh itu, dengan pohon mangga besar yang
memberi kesan teduh. Tak lain tak bukan, di sana kucurahkan semua emosi ku.
Berharap tak ada siapapun yang tahu tentang semua kegundahanku. Pena dan buku
jadi sasaran pelampiasan setiap harinya. Hingga dalam waktu dua hari saja buku
notes ini penuh akan curahan hati.
Awalnya aku ingin
menyembunyikan air mata yang hendak jatuh, tapi lagi dan lagi gadis itu
mendapatiku yang tengah mengusap-usap air mataku.
“Ada
apa kemari? Kamu ngikutin aku, ya?!” tanyaku dengan intonasi sedikit naik.
“Uh,
maaf-maaf. Bukan begitu, aku hanya merasa kamu sedang tidak baik-baik saja.
Maka dari itu, aku berusaha mencuri langkah untuk… ya, mungkin bisa menjadi
tempat keluh kesahmu.”
Lagi dan lagi dia
menatap dengan penuh kesejukan, setiap yang ia katakan selalu mengandung
kehangatan. Aku tidak pernah menemui seorang gadis yang lemah lembut seperti
dia.
“Aku
sudah biasa seperti ini. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, apalagi
sampai diceritakan ke orang-orang. Karena, menurutku kamu terlihat seperti
siswi yang punya banyak teman, nggak tahu bagaimana rasanya dipojokkan.”
Balasku.
“Huh?
Itu menurut sudut pandangmu. Kamu belum mengenali aku, kan?”
“Risya
Khairani!” sambil mengulurkan tangannya.
“Ai’!”
“Sekarang,
kita berteman?” dia menanyakan ini kepadaku, dengan semburan matanya yang
membulat dan senyumnya yang memamerkan lesung pipi yang manis.
Aku
tidak menjawab sepatah katapun, hanya anggukan kepala sebagai isyarat setuju.
“Allahuakbar..
Allahuakbar!” Azan zuhur berkumandang.
“Muslimah,
kan?” tanya Risya.
“Hah?
Ya, seperti yang kamu lihat, aku berhijab.”
“Hahaha,
bercanda aja. Yuk, shalat di masjid!”
Kemudian
suara kumandang azan mengiringi langkah kami berdua menuju masjid sekolah yang
lokasinya cukup dekat dengan lokasi kami berbincang tadi. Hari ini merupakan
hari dimana ada seseorang yang dengan legowo menyatakan
ingin berteman denganku. Karena yang sudah-sudah hanya datang, kemudian memaki.
Dan hari ini juga merupakan awal dimana aku keluar dari zona amanku.
Post a Comment